Simposium RUU PDK Jawab Kebutuhan Perlindungan Diskriminasi Warga Negara

TERBERITA.COM, Jakarta – Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti-Diskriminasi (KAIN) dan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) menggelar Simposium Nasional Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Komprehensif (RUU PDK).
Kegiatan dilaksanakan secara kolaborasi bersama Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) serta Equal Rights Trust (ERT) pada 16 – 17 September 2025 di Departemen Kriminologi FISIP UI.
Diskusi ilmiah ini dihadiri lebih dari 150 peserta yang mempertemukan para pemangku kepentingan strategis dan berbagai kalangan terdiri dari para akademisi, ahli internasional, perwakilan Kementerian/Lembaga, masyarakat sipil, sejumlah kedutaan besar di Indonesia, media/jurnalis, dan mahasiswa.
Simposium ini lahir dari kebutuhan regulasi berbasis bukti (evidence-based regulation), kebijakan berbasis kebutuhan dan berorientasi pada pemecahan masalah di masyarakat, serta kerinduan hadirnya kebijakan yang memberi jaminan perlindungan setiap warga negara tanpa pengecualian.
Di samping itu, kegiatan ini merupakan inisiatif koalisi masyarakat sipil dalam mengingatkan para penyelenggara negara atas rekomendasi Universal Periodic Review Siklus IV 2023 dan concluding observations Komite Hak Sipil dan Politik 2024 di mana pemerintah Indonesia menyepakati mengenai legislasi anti-diskriminasi.
Dekan FISIP UI, Semiarto Aji Purwanto menyatakan, selain berdampak pada individu, diskriminasi juga berpengaruh terhadap kohesi sosial hingga mengancam legitimasi politik.
“Hukum anti-diskriminasi yang komprehensif tidak boleh berhenti pada teks, tetapi harus hadir sebagai instrumen keadilan yang dirasakan warga, terutama kaum rentan yang selama ini tersisih dari perlindungan negara,” tegas Purwanto.
Di sisi lain, Claude Cahn dari OHCHR menyatakan bahwa hanya dengan satu UU, negara bisa memenuhi banyak kewajiban internasional soal hak asasi manusia.
“Undang-undang ini memberi masyarakat alat untuk melawan diskriminasi secara langsung. Hak yang biasanya hanya tertulis di konstitusi atau perjanjian internasional bisa terasa jauh, tapi dengan undang-undang ini, orang bisa menggunakannya dalam kehidupan nyata,” jelasnya.
Staf Ahli Bidang Inovasi Pendanaan Pembangunan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Raden Siliwanti menyampaikan legislasi anti-diskriminasi sejalan dengan kerangka pembangunan Indonesia.
Menurut dia, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, salah satu arah kebijakannya ialah memastikan tidak ada satu orang pun yang tertinggal dalam pembangunan (no-one left behind).
“Dua pilar penopangnya adalah hukum dan akses terhadap keadilan. Cantolan tersebut seharusnya dapat dimaknai dan memampukan pemegang kepentingan untuk menindaklanjuti rekomendasi internasional terhadap Indonesia,” jelas Raden.
Dalam pelaksanaannya simposium yang membedah konsep RUU PDK terbagi menjadi empat sesi diskusi tematik.
Panel pertama mengangkat topik definisi dan cakupan diskriminasi yang komprehensif, panel kedua bertemakan mekanisme penegakan untuk akuntabilitas dan pemulihan korban diskriminasi.
Panel tiga menyoroti upaya pencegahan diskriminasi efektif perlu mencangkup pengumpulan data untuk kebijakan, partisipasi bermakna kelompok rentan dalam pengambilan keputusan, akses terhadap keadilan, serta sistem pengaduan individual.
Simposium ini ditutup oleh Komisioner dan Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ratna Batara Munti.
Selain itu, Komnas Perempuan juga mengadakan deklarasi yang mendukung penuh inisiatif dan upaya dari KAIN untuk mendorong Indonesia memiliki RUU PDK.
Diketahui, Komnas Perempuan akan mengawal advokasi agar RUU PDK bisa masuk dalam agenda Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dibahas serta disahkan melalui kerangka kerja fungsi dan kewenangan yang dimiliki Komnas Perempuan. (Mhr)