Penerapan Hukum dan Revisi KUHAP, Begini Pendapat Arjuna

TERBERITA.COM, Minahasa – Proses penerapan hukum di Indonesia dinilai masih belum dimaksimalkan dengan baik.

Itu dikarenakan hukum di Indonesia berada dalam ketegangan antara norma formal yang sering dipengaruhi faktor non-legal, yaitu kapasitas institusi, budaya birokrasi, politisasi kasus, dan korupsi.

Hal tersebut mengakibatkan masyarakat sering melihat selective enforcement, yakni hukum ditegakkan tegas pada kasus tertentu namun lemah pada kasus lain yang melibatkan kalangan berkuasa dan kuat.

“Dalam peradilan, masalah yang masih berulang adalah lambatnya akses terhadap keadilan, disparitas kualitas pembelaan hukum, dan inkonsistensi putusan pengadilan yang melemahkan prediktabilitas hukum,” kata Arjuna Putra Tumenggung Torar.

Menurut Arjuna, slogan Indonesia Negara Hukum masih relevan sebagai cita-cita konstitusional (rule of law).

Dia mengatakan, negara harus mengambil tindakan berdasarkan hukum, bukan kehendak pribadi atau Rechtsstaat Ideal.

“Relevansi praktisnya tergantung bagaimana mewujudkan supremasi hukum, kepastian hukum, persamaan di depan hukum dan perlindungan HAM,” ujarnya.

“Fakta ini menunjukan bahwa Indonesia adalah negara penganut norma hukum secara formal, tapi sedang berjuang mewujudkan negara hukum secara substansial,” paparnya.

Lelaki kelahiran Tomohon, 9 September 2003 ini menuturkan, aparat penegak hukum memiliki peran krusial dalam mewujudkan negara hukum, karena merupakan gatekeeper proses pidana.

Penyandang gelar Sarjana Hukum ini menjelaskan, praktik penahanan dan penyidikan kadang melanggar prinsip praduga tak bersalah atau hak atas bantuan hukum.

“Ada pula masalah terkait akuntabilitas internal sehingga kejahatan profesional seperti penyalahgunaan wewenang tidak selalu ditindak efektif,” tukasnya.

Meski begitu capaian penegakan terhadap tindak pidana tertentu mengalami peningkatan yang dibarengi reformasi prosedural.

“Namun prosesnya belum konsisten dan kerap menuai kritik dari publik,” imbuhnya.

 

Bahas revisi KUHAP

Peraih gelar Harapan III Nyong Manado 2025 ini menjelaskan, revisi KUHAP adalah momen penting dan layak mendapat pengamatan kritis.

Ia menuturkan, dari kajian publik dan draf yang beredar, terdapat dua narasi bertabrakan yakni pemerintah/pejabat menyatakan revisi bertujuan memperbaiki perlindungan HAM dan menyesuaikan praktik penegakan.

“Sebaliknya berbagai organisasi HAM, akademisi, dan praktisi menyorot sejumlah pasal yang dinilai melemahkan keseimbangan peradilan,” kata dia.

Dia mencontohkan hal itu bisa dilihat dari pembatasan peran advokat dalam pemeriksaan, ketidakjelasan standar penahanan, aturan penyadapan, dan pembatasan peliputan sidang.

Putera Sulut 2022 ini menambahkan, kritik utama ialah soal desain institusional, independensi mekanisme pengawasan, indikator objektif penahanan, dan jaminan peran pembela.

“Setiap penyidikan dan penuntutan harus didukung standar pembuktian yang jelas dan akses bantuan hukum sejak tahap awal,” ucapnya.

Pemilik akun Instagram @arjuunaputra ini menuturkan, revisi KUHAP bisa menjadi langkah progresif menuju due process.

Meski begitu terdapat sejumlah poin draf dinilai berpotensi mengurangi transparansi dan proteksi hak tersangka jika tidak diperhatikan lebih teliti.

Favorit Nyong Manado 2025 ini pun berharap aparat penegak hukum menjadikan profesionalisme berbasis bukti dan penghormatan asas praduga tak bersalah sebagai norma.

“Karena pada akhirnya, kepemimpinan yang menolak intervensi politik dan mengedepankan kepastian hukum akan memulihkan legitimasi penegakan hukum,” tandasnya. (Mhr)